Perkembangan Gizi di Indonesia


Ilmu Pengetahuan
            To understand the science it is necessary to know its history’ begitulah August Compte mengungkapkan tentang pentingnya mengenal sejarah sebuah ilmu agar dapat memahami hakekat sebuah ilmu. Pada hakekatnya ciri penting sebuah ilmu adalah berkembang dan selalu berubah menuju kesimpulan yang mendekati kebenaran. Bahkan menurut Cohen (1939), kemajuan suatu ilmu pengetahuan tergantung daripada kemampuannya mengoreksi diri. Soekirman (1998) berpendapat bahwa ada beberapa manfaat yang diperoleh dengan mempelajari sejarah perkembangan ilmu pengetahuan. Pertama, dapat dipelajari asal usul terbentuknya suatu penemuan-penemuan dan teori ilmiah. Sifat ilmu yang terus berkembang akan mendorong individu mempelajari sejarah ilmu tersebut dan memacu keingintahuan yang berujung pada kemajuan dan eksistensi ilmu tersebut. Kedua, mempelajari sejarah perkembangan ilmu merupakan suatu cara untuk menguji kebsahan sebuah ilmu khususnya ilmu gizi sebagai cabang ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan (knowledge) yang diperoleh melalui kaidah-kaidah ilmiah seperti pengamatan, pengujian, atau percobaan untuk mengetahui sebuah proses tertentu. Demikian pula ilmu gizi yang disusun dari sejumlah pengamatan proses biologis yang terjadi sebelum dan sesudah makanan dikonsumsi serta dampaknya terhadap pertumbuhan, perkembangan, dan kesehatan. Contoh yang lebih spesifik adalah sejarah penemuan vitamin yang diawali dari oleh Eijkman (sekitar abad 18) yang meyakini bahwa pada beras tumbuk terdapat zat anti beri-beri, tetapi baru dapat dibuktikan secara ilmiah melalui pengamatan dan pengujian oleh Funk diawal abad 19 yang berhasil mengisolasi accessory food factor ini dan dinamakan vitamin. Penemuan oleh Funk (1911) tentang vitamin ini menjadi tonggak sejarah penegakan ilmu gizi sebagai disiplin ilmu pengetahuan di abad modern.


Era Perkembangan Ilmu Gizi
Perkembangan ilmu gizi memang membutuhkan waktu yang panjang hingga menjadi seperti saat ini. Panjangnya perkembangan ilmu gizi dapat dibagi menjadi beberapa era perkembangan. Era penemuan, pada era ini banyak penemuan zat-zat gizi bagi kesehatan tubuh. Penemuan – penemuan tersebut bersifat kebetulan dan dirancang. James Lancaster (1601) mencatat upaya pencegahan skorbut dengan minum air jeruk. Kemudian secara empiris oleh James Lind (1747) membuktikan khasiat air jeruk untuk penyembuhan skorbut. Namun demikian baru pada abad ke-20 penemuan zat anti skorbut kemudian dikenal dengan vitamin C. Kemudian pada abad ke-18 penemuan proses pengolahan makanan dalam tubuh oleh Antoine Lavoisier melalui percobaan binatang (kelinci) menjadi tonggak percobaan binatang sebagai model dalam penelitian-penelitian gizi selanjutnya. Antoine Lavoisier juga dikenal sebagai Bapak Ilmu Gizi Dunia dikalangan ilmuwan. 
Sumber : http://www.humsci.auburn.edu/nufs/images/nutritionscience_img1.jpg
Era Fungsi Biokimia, pada era ini fungsi zat-zat gizi secara biokimia berhasil diungkapkan. Pada era ini beberapa peneliti di bidang gizi meraih nobel karena penelitiannya yang membuktikan zat-zat gizi dalam fungsi biokimiawi tubuh seperti Szent-Gyorgy menemukan vitamin C yang terbukti menyembuhkan skorbut serta Elvehjem dkk yang mengkaji ulang penemuan zat anti beri-beri yang ternyata dibuktikan sebagai zat anti pellagra melalui penelitian pada manusia. Pada era ini juga mulai dikaji kecukupan berbagai zat gizi, ketersediaan zat gizi secara biologis di dalam tubuh, serta interaksi antar zat-zat gizi di dalam tubuh baik antar sesama zat gizi maupun dengan komponen lain seperti zat aktif dalam bahan pangan. 
Era Gizi Preventif, di era ini dikembangkan pemahaman pentingnya zat-zat gizi untuk pencegahan penyakit. Vitamin A yang diawal abad 19 diketahui hanya sebatas fungsinya untuk penglihatan dan diduga meningkatkan daya tahan tubuh, ternyata diakhir abad 19 diketahui bahwa defisiensi vitamin A pada bayi meningkatkan risiko kematian. Sebagai contoh di Indonesia, diambil langkah kebijakan pemberian vitamin A dua kali dalam setahun (bulan Februari dan Agustus) untuk menurunkan angka rabun senja dan risiko kematian bayi. Begitu pula dengan yodium, yang dikenal sebagai zat anti gondok, akhir-akhir ini telah dikaitkan dengan pencegahan penurunan daya intelektual sebagai akibat tidak tampak defisiensi yodium.
 
Sumber : http://courses.cornell.edu/mime/media/12/7194/NutriSci.jpg
Era Pangan Fungsional, pada masa ini yang menonjol adalah perkembangan pangan fungsional serta zat aktif dalam bahan pangan yang dikaitkan dengan fungsinya dalam mencegah suatu penyakit. Penelitian – penelitian mulai diarahkan pada pengkajian dan percobaan pangan lokal yang dikembangkan dengan teknologi pangan dikaitkan dengan manfaatnya bagi kesehatan manusia. Sebagai contohnya pengembangan minyak zaitun untuk pencegahan penyakit jantung, pengembangan minuman bekatul untuk menurunkan kadar kolesterol pada penderita hiperkolesterolemia dan masih banyak lagi hasil-hasil riset serupa. Seiring berkembangnya biologi molekuler, ilmu gizi kini memasuki era yang disebut Era Nutrigenomik, sebuah era yang mengkaji keterkaitan serta efek zat-zat gizi pada ekspresi gen manusia. Nutrigenomik digambarkan melalui pengaruh variasi zat-zat gizi absorpsi dan metabolismenya terhadap efek biologis dan ekspresi DNA pada manusia. Berbagai era tersebut diatas merupakan penanda perkembangan ilmu gizi hingga memasuki era abad 20-an.
 
Sumber : http://myhealing.files.wordpress.com/2011/10/nutrigenomik-nahrungsmittelverwertung-anhand-vom-erbgut-berechnen.jpg
Gizi sebagai Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia
WHO mengartikan ilmu gizi sebagai ilmu yang mempelajari proses – proses yang terjadi pada manusia untuk mengkonsumsi dan mengolah zat-zat dari makanan yang diperlukan untuk menghasilkan energi, pertumbuhan, serta berfungsinya organ tubuh. Konsep gizi yang menyatakan bahwa manusia memerlukan zat – zat tertentu dari makanan dalam jumlah tertentu untuk fungsi tubuh merupakan konsep abad modern. Oleh sebab itulah gizi diakui sebagai ilmu pengetahuan (sains) pada awal abad 20 setelah penemuan – penemuan bidang ilmu lain khususnya bidang ilmu kimia, ilmu fisiologi, ilmu biologi, ilmu patologi, ilmu imunologi, epidemiologi, ilmu teknologi pangan, serta penemuan – penemuan vitamin, mineral, zat gizi lain sebagai dasar ilmu gizi. Perkembangan ilmu gizi mengikuti perkembangan masalah yang dihadapi manusia. Seiring waktu ilmu gizi menghadapi tantangan untuk dapat menentukan jumlah kecukupan zat gizi, jenis zat gizi yang optimal untuk kelangsungan hidup yang produktif.
Perkembangan ilmu gizi di Indonesia menurut Soekirman dimulai sejak dirintis penelitian gizi pada pertengahan abad ke-19. Beberapa penelitian pada abad ini penting sebagai bukti sejarah perkembangan ilmu gizi di Indonesia. Penelitian tentang khasiat umbi-umbian di Jawa terutama tales dan singkong yang ditulis oleh P.J Maier dan P.H.F Fromberg menghasilkan anjuran pada penduduk asli jawa untuk menanam singkong sebagai tambahan (komplemen) makanan pokok beras. Fenomena komplemen pangan di Indonesia hingga saat ini dinilai para pakar merupakan alternatif krisis pangan tetapi sayangnya terkadang menjadi isu politis bagi elit – elit tertentu. Penelitian lain yang tidak kalah penting adalah penemuan zat anti beri – beri pada beras tumbuk oleh Eijkman. Untuk menghadapi wabah beri – beri yang melanda asia kala itu, pemerintah Hindia – Belanda membangun laboratorium kesehatan (1988) di Jakarta yang dipimpin oleh Eijkman. Penelitian selanjutnya yang dianggap penting dalam sejarah ilmu gizi di Indonesia ialah penelitian tentang komposisi bahan makanan asli Indonesia oleh Jansen (1919) yang menghasilkan Daftar Komposisi Bahan Makanan pertama di Indonesia. Pada awal masa kemerdekaan Indonesia, keadaan kesehatan dan status gizi rakyat Indonesia termasuk ke dalam yang terburuk di dunia. Tingginya angka kematian bayi, angka kematian wanita melahirkan, bahkan oleh dr. J. Leimena (Menteri Kesehatan kala itu) digambarkan bahwa setiap seperempat jam, seorang wanita Indonesia meninggal karena melahirkan dan setiap menit seorang bayi meninggal. Kemudian dr.J.Leimena sebagai menteri kesehatan mengambil langkah diantaranya dengan program perbaikan gizi yang dilaksanakan oleh Lembaga Makanan Rakyat yang dipimpin oleh dr.Poorwo Soedarmo (sebagai Bapak Ilmu Gizi Indonesia). Hingga kemudian ilmu gizi terus berkembang di Indonesia dan pendidikan formal ilmu gizi juga mulai didirikan untuk memenuhi kebutuhan tenaga profesional gizi.
           
Perkembangan Pendidikan Gizi di Indonesia
            Siapa yang tidak mengenal jargon ‘4 sehat 5 sempurna’? sebuah kalimat yang menjadi media pendidikan gizi bagi masyarakat pada awal tahun 1950. ‘4 sehat 5 sempurna’ diperkenalkan oleh Poorwo Soedarmo pada tahun 1952, dimana pada tahun yang sama istilah “gizi” sebagai terjemahan nutrition untuk pertama kalinya dipakaisebagai istilah ilmiah saat pidato pengukuhan guru besar Soedjono D.Poesponegoro di Fakultas Kedokteran UI (FKUI). Kemudian pada tahun 1955, “ilmu gizi” sebagai terjemahan nutrition science secara resmi masuk ke dalam kurikulum FKUI. Sejak dikukuhkannya Poorwo Soedarmo sebagai guru besar ilmu gizi tahun 1958, ilmu gizi mulai dikenal lebih luas dikalangan ilmu pengetahuan selain ilmu kedokteran. Pada tahun yang sama, Poorwo Soedarmo diundang oleh LIPI untuk presentasi mengenai ilmu gizi dan perkembangan penelitiannya pada Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) Pertama di Malang. Kiprah para ahli di bidang gizi baik secara perseorangan maupun mewakili organisasi profesinya, sejak tahun 1975 mengikuti kongres IUNS (International Union of Nutritional Sciences) yang terakhir Kongres ke – 20 yang akan diselenggarakan di Granada Spanyol tahun 2013.
            Pendidikan tenaga gizi professional di Indonesia mulai didirikan dalam bentuk Akademi Pendidikan Nutrisionis dan Ahli Diit pada tahun 1953-1956, kemudian berubah nama menjadi Akademi Ilmu Gizi di tahun 1958 dan akhirnya menjadi Akademi Gizi dari 1966 hingga sekarang. Jenjang pendidikan tersebut merupakan diploma dibawah naungan Departemen Kesehatan (sekarang Kementerian Kesehatan). Selain daripada itu, mata kuliah Ilmu Gizi mulai diberikan di Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor di tahun 1958. Kemudian pada tahun 1969 terbentuklah Departemen Ilmu Kesejahteraan Keluarga Pertanian (IKKP) dan Ilmu Gizi menjadi salah satu mata kuliah resmi di departemen ini. Pada tahun 1976, Departemen IKKP berubah menjadi Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga (GMSK). Di jurusan ini ilmu gizi dan aplikasinya dikembangkan di lingkungan ilmu pertanian. Pada perkembangannya nanti (sejak tahun 2003) Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga di Fakultas Pertanian IPB berubah untuk kembali pohon ilmunya menjadi Program Studi Ilmu Gizi di Fakultas Ekologi Manusia.
            Ilmu Gizi sebagai pohon ilmu dalam perkembangannya mempunyai berbagai cabang ilmu, dimulai dari (1) nutrigenomic (bagaimana zat-zat gizi dapat mempengaruhi DNA manusia), (2) human nutrition (gizi pada manusia), (3) nutrition biochemistry (biokimiawi zat-zat gizi), (4) clinical nutrition (gizi pada keadaan klinis), (5) nutrition immunology (gizi peranannya dalam kekebalan tubuh), (5) community nutrition (gizi pada masyarakat luas), nutrition on foodservice (gizi pada berbagai pelayanan makan komersial maupun non komersial), serta food science (ilmu pangan yang menunjang perkembangan gizi). Selama kurun waktu tertentu di Indonesia, pendidikan, penelitian maupun pengabdian di bidang ilmu gizi masih dittitikberatkan pada cabang gizi masyarakat. Sedangkan pengembangan di bidang gizi klinis, dietetik, ilmu gizi biokimiawi dan imunologi, nutrition on foodservice, dan cabang ilmu gizi yang lain dinilai masih kurang pada masa itu. Padahal diperkirakan ilmu gizi ke depan akan lebih menitikberatkan pada aspek kesehatan manusia (baik individu maupun masyarakat). Kodyat (1998) berpendapat terdapat tiga bidang yang harus dimiliki oleh seorang tenaga professional gizi yang diperlukan yaitu : (1) bidang gizi klinis (didalamnya ditunjang oleh berbagai ilmu seperti ilmu fisiologi, ilmu gizi, ilmu patologi, ilmu biokimia, ilmu imunologi), (2) bidang gizi masyarakat (didalamnya ditunjang oleh keilmuan-keilmuan seperti ilmu gizi, ilmu fisiologi, ilmu kesehatan masyarakat, ilmu epidemiologi), dan (3) bidang gizi institusi (didalamnya ditunjang ilmu teknologi pangan, manajemen produksi, keuangan, sumberdaya manusia, perhotelan, jasa boga, institusi penyelenggara pendidikan, haji dsb). Pernyataan tersebut diperkuat oleh Peraturan Pemerintah No.32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan pada pasal 2 yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Tenaga Gizi adalah Dietesien dan Nutrisionis.
Sumber : http://wilson.house.gov//images/user_images/Education%281%29.jpg
            Pendidikan Tinggi Penyelenggara Pendidikan Ilmu Gizi kualifikasi Sarjana Gizi (S1) dipioneri oleh Universitas Diponegoro Semarang (UNDIP), Universitas Gajah Mada Yogyakarta (UGM), Universitas Indonusa Esa Unggul Jakarta (sekarang Universitas Esa Unggul), dan Universitas Brawijaya Malang (Unibraw).Masing-masing perguruan tinggi memiliki nama berbeda untuk Program Studi dan Fakultas tempat bernaung. UNDIP dan Unibraw dengan nama Progam Studi Ilmu Gizi yang secara administratif berada di bawah Fakultas Kedokteran. UGM dengan nama Program Studi Gizi Kesehatan yang secara administratif berada di bawah Fakultas Kedokteran, dan Universitas Esa Unggul dengan nama Program Studi Ilmu Gizi secara administratif dibawah Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan. Keanggotaan AIPGI ini berkembang diikuti dengan bergabungnya IPB dengan nama Program Studi Ilmu Gizi yang secara administratif dibawah Fakultas Ekologi Manusia, UNHAS, UNAIR, dan UI dengan nama Program Studi Ilmu Gizi secara administratif dibawah Fakultas Kesehatan Masyarakat serta berbagai Sekolah Tinggi Kesehatan yang keberadaan Program Studi Ilmu Gizi secara administratif umumnya berada dibawah Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan. Gizi mempunyai potensi untuk terus berkembang menyesuaikan kondisi yang ada.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Antioksidan untuk Prediabetes

Makanan Pendamping ASI 6 - 24 Bulan