Antioksidan untuk Prediabetes
Oleh : Adriyan
Pramono, SGz., MSi
Prediabetes dan Radikal Bebas
Program
Studi Ilmu Gizi FK UNDIP/Center of Nutrition Research (CENURE) UNDIP
Prediabetes
Prediabetes merupakan kondisi kadar
glukosa darah seseorang diatas nilai normal yaitu kadar glukosa darah puasa
(GDP) 100-125 mg/dl (Impired Fasting
Glucose) (PERKENI, 2011). Angka prediabetes (10%) di Indonesia hampir 2
kali lebih tinggi bila dibandingkan
angka kejadian DM (5,6%) dan 61,6% diantaranya terjadi pada wanita (Soewondo
dkk, 2011).
Kriteria prediabetes adalah mereka
yang tergolong impaired fasting glucose (IFG) atau Gula Darah Puasa Terganggu
(GDPT), dan impaired glucose tolerance (IGT) atau Toleransi Glukosa Terganggu
(TGT). Pada sebagian dari mereka ini telah pula didapatkan kelainan seperti
yang ditemukan pada diabetes melitus yakni kelainan mikrovaskular (Manaf,2010).
Pada keadaan normal, kadar
glukosa darah puasa adalah < 100 mg/dL, dan 2 jam setelah beban < 140
mg/dL. Sedangkan untuk diabetes, kadar glukosa puasa adalah ≥ 126 mg/dL
dan 2 jam setelah beban ≥ 200 mg/dL. Maka, prediabetes terletak diantara
kedua keadaan tersebut yakni puasa 100 – 125 mg/dL ( IFG ) dan 2 jam setelah
beban 140 – 199 mg/dL. Berdasarkan penelitian, risiko IGT untuk menjadi
diabetes lebih besar dibanding IFG (Manaf,2010).
Risiko IGT untuk menjadi diabetes
lebih besar dibanding IFG. Progresivitas IGT menjadi diabetes 6 – 10% pertahun,
sedangkan bila IGT plus IFG dalm kurun waktu 6 tahun meningkat menjadi 65%
dibanding hanya 5% pada keadaan normal. Prediabetes berpotensi hampir dua kali
lebih tinggi mengalami risiko kardiovaskuler dibanding mereka tanpa IGT atau
IFG. Pada wanita dengan prediabetes yang konversi menjadi diabetes memiliki
risiko kejadian kardiovaskuler 3 kali lebih sering dibanding mereka yang
menetap sebagai prediabetes. Pengendalian Glukosa Darah pada Prediabetes
penting untuk pencegahan penderita jatuh menjadi Diabetes Mellitus Tipe II.
Modifikasi diet penderita
prediabetes harus juga sudah memperhatikan jadwal, jumlah, dan jenis makanan
sehari-hari serupa dengan diet pada penderita DM tipe II. Makanan yang menjadi
bagian terapi diet haruslah lengkap dari aspek zat gizi makro maupun mikro
(Yunir,2006). Kebutuhan zat-zat gizi essensial bagi prediabetes dapat dilihat
sebagai berikut :
Protein
Asupan protein yang dianjurkan
sebanyak 10 – 20% total kebutuhan energi per hari (Franz,2012). FDA
menganjurkan setidaknya 25 gram protein bersumber dari kedelai (FDA,2013).
Lemak
Asupan lemak antara 20-25% dari
total kebutuhan energi per hari dengan pembatasan lemak jenuh < 7% dan lemak
tak jenuh < 10% (Sukardji,2011).
Karbohidrat
Asupan karbohidrat dalam rentang
55-65% dari total kebutuhan energi per hari dengan pembatasan sukrosa < 30%
total energi dan fruktosa < 60 gr/hari. FDA telah menyetujui penggantian
pemanis sukrosa atau fruktosa dengan pemanis rendah kalori (2 kal/g), antara
lain isomalt, soritol, mannitol, xylitol, dan tagatisa (Franz,2012). Serat
merupakan bagian polisakarida dianjurkan dikonsumsi oleh prediabetes. Serat
larut air direkomendasikan dibanding serat tidak larut air (Sukardji,2011).
Vitamin
Vitamin A, C dan E direkomendasikan
untuk prediabetes. Vitamin A berperan dalam meningkatkan imunitas dan berperan
penting dalam regulasi insulin. Sumber karotenoid sebagai perkusor vitamin A
dalam tumbuh-tumbuhan juga direkomendasikan. Vitamin C direkomendasikan
merupakan vitamin C alami dan tidak dalam dosis besar. Vitamin C berperan
dalamsintesis kolagen dan meningkatkan imunitas. Vitamin E berperan penting dalam
meningkatkan kinerja insulin dalam menangkap molekul glukosa serta sebagai
antioksidan pemecah rantai prooksidan paling efisien (Moordian,1994)
Prediabetes dan Radikal Bebas
Radikal bebas atau ROS (Reactive Oxygen Species) didefinisikan
sebagai atom atau molekul yang memiliki elektron tidak berpasangan. Radikal
bebas sangat reaktif dan memiliki paruh waktu yang sangat pendek. Radikal bebas
bereaksi dengan molekul di sekitarnya untuk mencapai kestabilan. Reaksi ini
berlangsung terus menerus di dalam tubuh, dan apabila tidak di inaktivasi,
reaksinya dapat merusak seluruh molekul seluler, termasuk struktur karbohidrat,
protein, lemak termasuk asam nukleat (Winarsih, 2007).
Rangkaian peristiwa radikal bebas
tersebut juga terjadi pada prediabetes. Telah disebutkan sebelumnya bahwa pada
prediabetes telah ditemui juga kondisi penyakit mikrovaskular (diabetes
nefropati, retinopati, dan neuropati) (Franz,2012). Hal itu menunjukkan bahwa
pada kondisi prediabetes juga telah mengalami kerusakan sel beta pancreas akibat
stress oksidatif, munculnya marker IL-1β dan NF-kB (Suyono,2011).
Stres oksidatif terjadi akibat
ketidakseimbangan antara radikal bebas yang dihasilkan dengan sistem pertahanan
terhadap radikal bebas sehingga radikal bebas cenderung meningkat. Proses terjadinya
radikal bebas melalui diantaranya protein glikosilasi, auto-oksidasi glukosa,
gangguan metabolisme glutation, penurunan enzim antioksidan, formasi lipid
peroksidase, penurunan kadar asam askorbat, serta kegagalan memperbaiki
kerusakan oksidatif (Litchford,2012).
![]() |
Evans, Joseph L., et al.
"Are Oxidative Stress− Activated Signaling Pathways Mediators of Insulin
Resistance and β-Cell Dysfunction?." Diabetes 52.1 (2003): 1-8.
|
Radikal bebas terbentuk secara tidak
proporsional pada penderita prediabetes oleh proses autooksidasi glukosa dan
glikasi non enzimatik protein yang menghasilkan Advanced Glycation End-Products (AGEs). Peningkatan peroksidasi
lipid dan kerusakan makroseluler organel sel disebabkan oleh peningkatan
radikal bebas. Dalam hal ini diduga ada peran kuat Asam Lemak Bebas (Free Fatty Acid) sehingga memicu radikal
bebas semakin bertambah.
Peningkatan peroksidasi lipid
merusak membrane sel dengan menurunkan fluiditas membaran dan mengubah
aktivitas enzim yang terkait dengan membrane dan reseptor. Peningkatan
peroksidasi lipid ini yang diduga memicu terjadinya aterosklerosis pada
penderita prediabetes yang menjadi DM tipe II (Mousa,2008). Glukosa dapat
teroksidasi sebelum dan sesudah berikatan dengan protein dan menghasilkan ROS.
Kombinasi glikasi dan oksidasi glukosa menghasilkan pembentukan AGEs. Berbagai
sel seperti makrofag, monosit dan endotel mampu mengenal AGEs melalui RAGE (receptor for AGE). Paparan AGE terhadap
RAGE dapat mengaktifkan faktor transkripsi NF-kB dan menurunkan Gluthation
(Evans,2003).
Peran
Antioksidan terhadap Prediabetes
Antioksidan memiliki fungsi sebagai
penangkap radikal bebas di dalam tubuh serta berperan penting dalam mempengaruhi
kadar glukosa darah. Kadar glukosa darah yang tinggi diduga berperan dalam
kejadian kerusakan jaringan serta pembentukan radikal bebas. Hiperglikemia
menyebabkan autooksidasi glukosa yang mempercepat pembentukan senyawa oksigen
reaktif. Hasil dari autooksidasi glukosa berupa senyawa superoksida disertai
kerusakan pada enzim superoksida dismutase (Setiawan, 2005).
![]() |
www.redlabs.be |
Antioksidan berperan memutuskan
rantai radikal bebas dengan menyeimbangkan gugus hidroksil sehingga radikal bebas
berubah menjadi produk stabil. Antioksidan merupakan senyawa yang memiliki
kemampuan memperlambat atau mencegah proses oksidasi dengan mendonorkan
elektronnya ke radikal bebas sehingga tidak merusak sel atau jaringan lain.
Pertahanan radikal bebas di dalam tubuh berlangsung secara enzimatis dan non
enzimatis. Pertahanan dari radikal bebas secara enzimatis adalah disebabkan
oleh adanya enzim Super-Oxyde Dismutase
(SOD), Gluttathione Peroxydase (GPx)
dan Catalase (CAT) (Moussa,2008). Pertahanan ini disebut dengan antioksidan
primer (Winarsi,2007).
Pertahanan radikal bebas dengan
antioksidan primer dipengaruhi oleh faktor asupan zat gizi mikro yaitu Cu
(Tembaga), Zn (Seng), Mn (Mangan), dan Fe (Besi).
![]() |
antioxidantsgroup.wordpress.com |
Keempat mikronuteient ini
penting sebagai kofaktor SOD dalam menjalankan tugasnya. GPx merupakan enzim
pendukung aktivitas enzim SOD bersama enzim katalase dalam mempertahankan
konsentrasi oksigen agar stabil dan tidak berubah menjadi pro-oksidan.
Selain antioksidan primer, terdapat
juga antioksidan sekunder, dan tersier. Antioksidan sekunder merupakan
antioksidan dengan fungsi menangkap radikal bebas (radical scavenger) dan mencegah reaksi berantai. Contoh antioksidan
sekunder adalah vitamin A,C,E dan beta karoten. Antioksidan tersier merupakan
antioksidan yang berfungsi memperbaiki sel rusak akibat radikal bebas,
contohnya sulfoksida reduktase (Winarsi,2007).
Hiperglikemia pada prediabetes ini
menyebabkan peningkatan stress oksidatif dan penurunan antioksidan endogen
(yang diproduksi tubuh), oleh sebab itu tubuh memerlukan antioksidan eksogen.
Antioksidan eksogen dapat diperoleh dengan meningkatkan asupan antioksidan
seperti vitamin A, beta karoten, vitamin C, vitamin E, polifenol (flavonoid,
isoflavon dan oleoresin). Asupan antioksidan merupakan proteksi terhadap
progresivitas prediabetes dengan menghambat reaksi peroksidasi yang merusak sel
beta pancreas (Pramitasari, 2010).
Kandungan antioksidan alami yang ada
di dalam kedelai dan jahe berupa senyawa polifenol (flavonoid dan fenol)
(Lacroix et al, 2014). Beberapa
penelitian menunjukkan pemberian antioksidan dari jahe maupun kedelai mampu
menstabilkan reaksi radikal bebas dan bersifat preventif pada organ hati
(Pramitasari, 2010).
Pengukuran
Aktivitas Antioksidan Pangan
Metode untuk identifikasi aktivitas
antioksidan pada pangan adalah metode DPPH (1-1-diphenyl-2-picrylhydrazyl),
metode ABTS (2,2 aziobis
3-etilbenzothiazoline-6-asam sulfonat) dan metode Tiosianat. Metode DPPH
dan ABTS dilakukan dengan mekanisme penyerapan spektrum, yang akan stabil pada
radikal bebas ketika telah menerima elektron dari antioksidan. Metode tiosianat
berdasarkan kemampuan senyawa radikal bebas reaktif dengan cara melihat jumlah
peroksida yang terbentuk pada emulsi selama inkubasi sel yang diukur
menggunakan spektofotometri. Spektofotometri digunakan untuk mengukur tingkat
absorbansi peroksida pada panjang gelombang 500 nm. Semakin tinggi nilai
absorbansi semakin tinggi konsentrasi peroksida (Kuncahyo et
al,2007;Molyneux,2004). Metode DPPH merupakan metode paling efektif dibanding
metode ABTS dan Tiosianat. Metode DPPH lebih mudah, sederhana, cepat, dan hanya
memerlukan jumlah sampel sedikit dalam waktu yang singkat. DPPH merupakan
radikal bebas yang stabil pada suhu kamar, dan sering digunakan untuk pengujian
aktivitas antioksidan beberapa senyawa atau ekstrak bahan alami. Radikal DPPH
yang mengandung electron bebas memberikan serapan yang kuat pada panjang
gelombang maksimum 515,5 nm dan berwarna ungu. Ketika larutan DPPH dicampurkan
dengan zat antioksidan, maka zat antioksidan akan mendonorkan elektronnya pada DPPH.
Radikal bebas DPPH yang telah berpasangan ditandai dengan perubahan warna
larutan dari ungu menjadi kuning pucat. Perubahan warna yang terjadi dapat
diukur secara stoikiometri sesuai jumlah electron atau atom hydrogen yang
diambil oleh molekul DPPH menjadi DPPH-H (Kuncahyo et al,2007; Molyneux,2004).
Pustaka:
Ali BH, G. Blunden, MO Tanira and A.
Nemmar. 2008. Some phytochemical, pharmacological and toxicological properties
of ginger (Zingiber officinale Roscoe):
A review of recent research. Food and Chemical Toxicology; 46 : 409–420.
Asif M, Acharya M. 2013.
Phytochemicals and nutritional health benefits of soy plant. Int J Nutr
Pharmacol Neurol Dis;3:64-9.
Asman Manaf. 2010. Prediabetes.
Available at : repository.unand.ac.id/89/1/Pre_Diabetes.pdf.
Evans JL, Goldfine ID, Maddux BA,
Grodsky GM. 2003. Perspective in Diiabetes : Are Oxidative Stress-Activated
Signaling Pathways Mediators of Insulin Resistance and β-Cell Dysfuction?. Diabetes 52 : 1 - 8
Food and Drug Administration. 2013.
Guiandce for industry: A food labeling guide (11. Appendix C: Health claim). US
Departemen of Healty Service;. Available at: www.fda.gov
Franz J. Marion. 2012. Medical
nutrion therapy for diabetes mellitus and hypogicemia of nondiabetic origin.
In: Mahan LK, Selvia, Reymond LJ. Krause’s food and nutrition process care.
13th ed. United State America : Elsivier Sauders;p.676-708.
Kuncahyo, Ilham dan Sunardi. 2007.
Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Blimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi, L.) Terhadap
1,1-Diphenyl-2-2 Picrylhidrazyl (DPPH). Universitas Setia Budi.
Lacroix ME,
Eunice C.Y. 2014. Overview of
food products and dietary constituents with antidiabetic properties and
their putative mechanism of action: A natural approach to complement
pharmacotherapy in the management of diabetes. Mol. Nutr. Food Res., 58, 61–78.
Molyneux,P. 2004. The use of stable
free radical diphenylpicryl-hydrazyl (DPPH) for estimating antioxidant
activity. Songklanakrin J. Sci. Technol. 26 : 211-219.
Moussa, SA. 2008. Oxidative Stress
in Diabetes Mellitus. Romanian J. Biophsy. 18(3): 225 – 236.
Newsholme Philips, Lorraine Brennan,
and Katrin Bender. 2006. Amino acid metabolism, β-cell fungtion, and diabetes.
American Diabetes Association;Vol.55(2); 39-47.
Oh Susan, Rita Rastogi K, and Adrian
Dobs. 2014. Nutritional management of diabetes mellitus. In: Ross A. Catherine,
Benjamin Caballero, Robert J, Katherine LT, and Thomas RZ (editor). Modern
nutrition in health and disease.11th ed. New York : Lippincott Williams and
Wilkins;.p.808-824.
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia.
2011. Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia
2011. Jakarta: PB. PERKENI;.p. 30-62.
Pramitasari Dika, Baskoro KA, Gusti
Fuza. 2010. Penambahan ekstrak jahe (Zingeberne
officinale rocs.) dalam pembuatan susu kedelai bubuk instan dengan metode spray drying: komposisi kimia, sifat
sensori dan aktivitas antioksiand [skripsi]. Surakarta: Universitas Sebelas
Maret.
Randox. 2009. Total Antioxidant
Status (TAS). UK : Randox Lab Limited.
Setiawan Bambang, Eko Suharto. Stres
oksidatif dan peran antioksiand pada diabetes melitus. Maj Kedokteran, Vol:55,
Nomor:2, 2005: 86-90.
Soewondo P and Pramono LA. 2011.
Prevalence, characteristics, and predictors of prediabetes in Indonesia. Med J
Indonesia.;20(4): 283-94.
Sukardji, Kartini. 2011.
Penatalaksanaan Gizi pada Diabetes Mellitus. Dalam : Sidartawan S, Pradana S,
Imam S, editor. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus. Jakarta : Badan Penerbit
FKUI. H.47-53.
Winarsi, Heri. 2007. Antioksidan
Alami dan Radikal. Yogyakarta : Kanisius
Winarsi, Heri. 2010. Protein kedelai
dan kecambah manfaatnya bagi kesehatan. Yogyakarta:Kanisus;.p. 5-80
Yang Bin, et al. 2011. Systematic
review and meta-analysis of soy products consumtion in patients with type 2
diabetes mellitus. Asia Pac J Clin Nutr; 20 (4):593-602
Yunir Em, Suharko Soebardi. 2006.
Terapi non farmakologis pada diabetes melitus. In: Sudoyo Aru W, Bambang
Setiyohadi, Idrus Alwi (editor).Buku ajar ilmu penyakit dalam Jilid III. edisi
IV. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran, Universitas
Indonesia;.p.1864-67.
Komentar
Posting Komentar